NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Senin, 10 Juni 2013

WAKTU

Surat  32  As Sajdah

5.
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.

Surat 18 : Al Kahfi
19. Dan
demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)." Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.

25. Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)

Teori Relativitas Khusus oleh Einstein (1905).
Pada hakikatnya bicara soal waktu.

Salah
satu gejala yang penting adalah dilasi waktu : jalannya jarum jam bergantung pada keadaan gerak dari pemakainya.
Misalnya Fulan berangkat dari Yogya ke Sala naik kereta.
Ketika di stasiun Yogya dia melihat jam di stasiun menunjukkan jam 08.00.
Dia melihat jam yang dipakainya juga menunjukkan jam 08.00

Ketika sampai di Sala si Fulan melihat jam di stasiun Sala dan menunjukkan jam 09.00.

Ketika Fulan melihat jam yang dipakainya ternyata menunjukkan KURANG dari jam  09.00
Perbedaannya berorde (v/c)^2. Jika v = 60 km/jam dan c = kecepatan cahaya = 3*10^8 m/detik maka menjadi 3*10^(-15) detik = 3 per seribu trilyun detik.

Itu semua bukan karena jam-jam itu rusak atau tidak cocok.

Jika kemudian Fulan langsung pulang lagi ke Yogya, maka ketika sampai di Yogya dia bertemu lagi dengan jam di stasiun Yogya.

Jam di stasiun Yogya menunjukkan jam 10.00, namun jam yang dipakainya justru menunjukkan lebih kurang lagi (yaitu 6 per seribu trilyun detik).

Gejala ini disebut paradoks kembar.
Dengan persiapan yang lebih teliti, hal itu sudah dibuktikan secara eksperimen.

Dua jam atom A dan B. Jam A tetap di tempat sedangkan jam B dibawa pesawat jet mengelilingi bumi hingga bertemu lagi dengan jam A. Ternyata jam B berjalan lebih lambat.
Ibarat manusia, B lebih muda dari pada A meskipun A dan B kembar.



Dapatkah Orang Kafir Masuk Masjid?



Message:
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, apa hukumnya org nasrani 
atau org selain muslim masuk ke dlm masjid??
Dari: taufiq taufi ** x * n@gmail.com 
Wa alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,
Bismillah was Shalatu was salamu 'ala rasulillah, amma ba'du,
 
Ulama berbeda pendapat tentang hukum orang kafir masuk masjid. Berikut diantaranya,
Pertama , orang kafir tidak bisa masuk masjid, baik masjid di tanah haram (mekah) maupun masjid di luar tanah haram. Ini adalah pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat beliau.
Hanya saja, sebagian ulama hambali memungkinkan jika ada maslahat untuk kepentingan masjid, seperti memperbaiki bangunan atau semacamnya.
Al-Buhuti - ulama madzhab hambali - mengatakan,  
لا يجوز لكافر دخول مسجد الحل ولو بإذن مسلم; لقوله تعالى: إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر  سورة التوبة, ويجوز دخولها - أي مساجد الحل - للذمي, ومثله المعاهد والمستأمن إذا استؤجر لعمارتها; لأنه لمصلحته
Tidak bisa bagi orang kafir untuk masuk masjid meskipun di selain tanah haram, sekalipun dengan izin orang muslim. Berdasarkan firman Allah, yang artinya, "Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir .." (QS. At-Taubah: 18). Yang bisa masuk masjid adalah orang kafir zimmi, termasuk mu'ahid dan musta'min, ketika mereka dipekerjakan untuk memperbaiki masjid, karena ini untuk kemaslahatan masjid. (Kasyful Qana ', 6/265).
Diantara dalil mereka yang mengambil pendapat ini adalah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah melihat ada orang majusi di dalam masjid ketika ia sedang berkhotbah di atas mimbar. Kemudian Ali turun, dan memukulnya serta menyuruhnya keluar. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu. Karena jika orang muslim yang junub tidak bisa masuk masjid maka orang musyrik lebih layak dilarang masuk masjid. (Mathalib Uli An-Nuha, 2/617). 
 
Kedua , orang kafir bisa masuk masjid, jika diharapkan dia bisa masuk islam dengan melihat aktivitas kaum muslimin di masjid atau mendengar ceramah. Ini pendapat Al-Qodhi Abu Ya'la - ulama hambali -. Dengan syarat, mendapatkan izin dari salah satu orang muslim. Keterangan beliau dinukil dalam Mathalib Ulin Nuha,
يجوز لكافر دخول المسجد بإذن مسلم إن رجي منه إسلام لأنه - صلى الله عليه وسلم - قدم عليه وفد أهل الطائف, فأنزلهم في المسجد قبل إسلامهم
Bisa bagi orang kafir untuk masuk masjid dengan izin dari seorang muslim, jika diharapkan dia masuk islam. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu dari Thaif, dan ia menyuruh mereka untuk singgah di dalam masjid, dan mereka belum masuk islam.(Mathalib Uli An-Nuha, 2/617).
 
Ketiga , larangan masuk masjid untuk orang kafir, hanya berlaku untuk masjidil haram dan bukan masjid lainnya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafii, Ibnu Hazm, Al-Albani, Ibnu Utsaimin dan beberapa ulama lainnya.
Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini,
1. Firman Allah,
يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini (tahun 9 H). (QS. At-Taubah: 28)
Al-Qurthubi menukil keterangan Imam As-Syafii yang mengatakan,
الآية عامة في سائر المشركين خاصة في المسجد الحرام, ولا يمنعون من دخول غيره فأباح دخول اليهود والنصارى في سائر المساجد
Ayat ini mencakup umum seluruh orang musyrik, terutama ketika masuk masjidil haram. Dan mereka tidak dilarang untuk masuk masjid lainnya.Karena itu, Dia memungkinkan orang yahudi atau nasrani masuk ke masjid-masjid lainnya. (Tafsir Al-Qurthubi, 8/105).
Keterangan yang sama juga disampaikan Ibnu Hazm, dalam Al-Muhalla beliau mengatakan,
فخص الله المسجد الحرام, فلا يجوز تعديه إلى غيره بغير نص
Allah mengkhususkan hukum untuk masjidil haram, karena itu tidak bisa diberlakukan untuk masjid yang lain tanpa dalil. (Al-Muhalla, 3/162).
2. Praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Diantaranya, keterangan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
بعث النبي صلى الله عليه وسلم خيلا قبل نجد, فجاءت برجل من بني حنيفة يقال له: ثمامة بن أثال, سيد أهل اليمامة, فربطوه بسارية من سواري المسجد, فخرج إليه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: «أطلقوا ثمامة», فانطلق إلى نخل قريب من المسجد, فاغتسل, ثم دخل المسجد, فقال: أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
 Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus beberpaa penunggang kuda menuju Nejd, tiba-tiba utusan itu kembali dengan membawa tawanan yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku daerah Yamamah. Merekapun mengikatnya di salah satu tembok masjid nabawi.Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendekati Tsumamah, lalu beliau memerintahkan, "Lepaskan Tsumamah." Kemudian Tsumamah menuju kebun kurma dekat masjid, ia mandi lalu masuk masjid, dan menyatakan masuk Islam dengan bersyahadat. Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah. (HR. Bukhari 2422 & Muslim 1764).
 
Insyaaallah inilah pendapat yang lebih kuat, berdasarkan praktek makna teks ayat dan praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Khatib As-Syarbini mengatakan,
وثبت أنه - صلى الله عليه وسلم - أدخل الكفار مسجده, وكان ذلك بعد نزول "براءة", فإنها نزلت سنة تسع, وقدم الوفد عليه سنة عشر وفيهم وفد نصارى نجران, وهم أول من ضرب عليهم الجزية فأنزلهم مسجده وناظرهم في أمر المسيح وغيره
Ada riwayat yang shahih, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah, surat ini turun di tahun 9 hijriyah. Sementara ia menerima banyak tamu pada tahun 10 hijriyah, dan diantara mereka ada orang nasrani Najran. Dan mereka suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang Al-Masih dan yang lainnya. (Mughni Al-Muhtaj, 6/68).
 
Allahu a'lam


Message:
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, apa hukumnya org nasrani 
atau org selain muslim masuk ke dlm masjid??
Dari: taufiq taufi ** x * n@gmail.com 
Wa alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,
Bismillah was Shalatu was salamu 'ala rasulillah, amma ba'du,
 
Ulama berbeda pendapat tentang hukum orang kafir masuk masjid. Berikut diantaranya,
Pertama , orang kafir tidak bisa masuk masjid, baik masjid di tanah haram (mekah) maupun masjid di luar tanah haram. Ini adalah pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat beliau.
Hanya saja, sebagian ulama hambali memungkinkan jika ada maslahat untuk kepentingan masjid, seperti memperbaiki bangunan atau semacamnya.
Al-Buhuti - ulama madzhab hambali - mengatakan,  
لا يجوز لكافر دخول مسجد الحل ولو بإذن مسلم; لقوله تعالى: إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر  سورة التوبة, ويجوز دخولها - أي مساجد الحل - للذمي, ومثله المعاهد والمستأمن إذا استؤجر لعمارتها; لأنه لمصلحته
Tidak bisa bagi orang kafir untuk masuk masjid meskipun di selain tanah haram, sekalipun dengan izin orang muslim. Berdasarkan firman Allah, yang artinya, "Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir .." (QS. At-Taubah: 18). Yang bisa masuk masjid adalah orang kafir zimmi, termasuk mu'ahid dan musta'min, ketika mereka dipekerjakan untuk memperbaiki masjid, karena ini untuk kemaslahatan masjid. (Kasyful Qana ', 6/265).
Diantara dalil mereka yang mengambil pendapat ini adalah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah melihat ada orang majusi di dalam masjid ketika ia sedang berkhotbah di atas mimbar. Kemudian Ali turun, dan memukulnya serta menyuruhnya keluar. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu. Karena jika orang muslim yang junub tidak bisa masuk masjid maka orang musyrik lebih layak dilarang masuk masjid. (Mathalib Uli An-Nuha, 2/617). 
 
Kedua , orang kafir bisa masuk masjid, jika diharapkan dia bisa masuk islam dengan melihat aktivitas kaum muslimin di masjid atau mendengar ceramah. Ini pendapat Al-Qodhi Abu Ya'la - ulama hambali -. Dengan syarat, mendapatkan izin dari salah satu orang muslim. Keterangan beliau dinukil dalam Mathalib Ulin Nuha,
يجوز لكافر دخول المسجد بإذن مسلم إن رجي منه إسلام لأنه - صلى الله عليه وسلم - قدم عليه وفد أهل الطائف, فأنزلهم في المسجد قبل إسلامهم
Bisa bagi orang kafir untuk masuk masjid dengan izin dari seorang muslim, jika diharapkan dia masuk islam. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu dari Thaif, dan ia menyuruh mereka untuk singgah di dalam masjid, dan mereka belum masuk islam.(Mathalib Uli An-Nuha, 2/617).
 
Ketiga , larangan masuk masjid untuk orang kafir, hanya berlaku untuk masjidil haram dan bukan masjid lainnya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafii, Ibnu Hazm, Al-Albani, Ibnu Utsaimin dan beberapa ulama lainnya.
Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini,
1. Firman Allah,
يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini (tahun 9 H). (QS. At-Taubah: 28)
Al-Qurthubi menukil keterangan Imam As-Syafii yang mengatakan,
الآية عامة في سائر المشركين خاصة في المسجد الحرام, ولا يمنعون من دخول غيره فأباح دخول اليهود والنصارى في سائر المساجد
Ayat ini mencakup umum seluruh orang musyrik, terutama ketika masuk masjidil haram. Dan mereka tidak dilarang untuk masuk masjid lainnya.Karena itu, Dia memungkinkan orang yahudi atau nasrani masuk ke masjid-masjid lainnya. (Tafsir Al-Qurthubi, 8/105).
Keterangan yang sama juga disampaikan Ibnu Hazm, dalam Al-Muhalla beliau mengatakan,
فخص الله المسجد الحرام, فلا يجوز تعديه إلى غيره بغير نص
Allah mengkhususkan hukum untuk masjidil haram, karena itu tidak bisa diberlakukan untuk masjid yang lain tanpa dalil. (Al-Muhalla, 3/162).
2. Praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Diantaranya, keterangan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
بعث النبي صلى الله عليه وسلم خيلا قبل نجد, فجاءت برجل من بني حنيفة يقال له: ثمامة بن أثال, سيد أهل اليمامة, فربطوه بسارية من سواري المسجد, فخرج إليه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: «أطلقوا ثمامة», فانطلق إلى نخل قريب من المسجد, فاغتسل, ثم دخل المسجد, فقال: أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
 Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus beberpaa penunggang kuda menuju Nejd, tiba-tiba utusan itu kembali dengan membawa tawanan yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku daerah Yamamah. Merekapun mengikatnya di salah satu tembok masjid nabawi.Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendekati Tsumamah, lalu beliau memerintahkan, "Lepaskan Tsumamah." Kemudian Tsumamah menuju kebun kurma dekat masjid, ia mandi lalu masuk masjid, dan menyatakan masuk Islam dengan bersyahadat. Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah. (HR. Bukhari 2422 & Muslim 1764).
 
Insyaaallah inilah pendapat yang lebih kuat, berdasarkan praktek makna teks ayat dan praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Khatib As-Syarbini mengatakan,
وثبت أنه - صلى الله عليه وسلم - أدخل الكفار مسجده, وكان ذلك بعد نزول "براءة", فإنها نزلت سنة تسع, وقدم الوفد عليه سنة عشر وفيهم وفد نصارى نجران, وهم أول من ضرب عليهم الجزية فأنزلهم مسجده وناظرهم في أمر المسيح وغيره
Ada riwayat yang shahih, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah, surat ini turun di tahun 9 hijriyah. Sementara ia menerima banyak tamu pada tahun 10 hijriyah, dan diantara mereka ada orang nasrani Najran. Dan mereka suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang Al-Masih dan yang lainnya. (Mughni Al-Muhtaj, 6/68).
 
Allahu a'lam

Hukum Hubungan Intim Setelah Bercerai



Tanya:
Tadz, jika ada suami-istri, keduanya dr keluarga baik-baik.stlah menikah bbrapa tahun, istrinya minta cerai.hingga diurus d pengadilan.Akhirnya, suaminya menceraikannya.Kurang lbh 2 bulan, mereka bertemu kembali, dan pergi brsama jauh dr keluarga. Sampai akhirnya terjadi hubungan intim dan hamil. Si istri sangat bingung dg status anak ini. apakh itu hubungan yg sah. Ato zina. Sampai keluarganya memisahkannya, krn blm ada kejelasan. Semua pada bingung. Mohon pencerahannya jika ada kejadian seperti ini, apa yg harus dilakukan? 
Trim'S
Ana (ana_anu@yahoo.com)
Jawab:
Bismillah was Shalatu was salamu 'ala rasulillah, amma ba'du,
Ibnul Qoyim dalam bukunya Miftah Dar As-Sa'adah (1/129) menyebutkan lebih dari 30 perbandingan keutamaan antara ilmu ilmu dan harta. Salah satunya, ia menyatakan,
العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله
Ilmu akan melindungi pemiliknya, sementara pemilik harta, dia sendiri yang melindungi hartanya.
Dan demikianlah realitanya, seorang yang berilmu, dalam setiap gerak hidupnya akan dipandu dengan aturan yang dia pahami. Dia bisa bergerak sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Dengan demikian, dia bisa menjalankan segala aktivitasnya dengan tenang, tanpa disertai kegalauan.
Berbeda dengan orang yang tidak berilmu, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang aturan Allah, hidupnya akan diliputi kekhawatiran. Cemas, jangan-jangan saya melanggar, jangan-jangan ibadah saya batal, jangan-jangan tidak sah.Belum lagi ketika ada masalah, seperti ini apa yang harus saya lakukan? Kemana saya harus mencari jawaban?. dst. Kita tidak bisa membayangkan, betapa resahnya dan bimbangnya keluarga di atas. Mereka akan dibayangi kebingungan, antara zina dan bukan zina.
Karena itulah, Allah tegaskan bahwa orang yang berilmu akan mendapatkan ketenangan,
ألا بذكر الله تطمئن القلوب
Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati ini menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra'du: 28)
Tentang makna dzikrullah ada 2 keterangan ahli tafsir,
a. Makna yang umum kita dengar, dzikrullah artinya mengingat Allah dengan memujinya dan mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya.      
b. Dzikrullah: peringatan dari Allah, Al-Quran dan sunah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya, semua aturan Allah. Karena orang yang memahami, akan bisa bersikap dengan tenang, tidak ragu, karena dipandu aturan Allah.     
(Simak Zadul Masir, 2/494).
Setidaknya, keterangan ini bisa memotivasi kita untuk menghiasi seluruh hidup kita dengan ilmu agama. Berusaha mendekati dan memahami aturan syariat. Setidaknya dalam rangka menghilangkan kebodohan dalam diri kita. Karena semua manusia dilahirkan dari rahim ibunya, tidak tahu apapun sama sekali.
insyaaallah, kita akan bisa merasakan betapa tenangnya hidup dengan aturan syariat. Beribadah tenang, shalat tenang, bahkan ketika lupa di tengah-tengah shalatpun Anda tenang, karena Anda paham teori sujud sahwi. Beda dengan yang tidak tahu teorinya, ketika lupa dalam shalat, dia akan kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Kebanyakan, solusi yang dilakukan adalah membatalkan shalatnya.
Selanjutnya, kita fokuskan pada pembahasan untuk kasus di atas.
Ada beberapa pengantar yang bisa dicatat terkait kasus di atas,
Pertama , talak, dilihat dari kemungkinan rujuk dan tidaknya, ada 2:
a. Talak raj'i : talak yang masih memungkinkan untuk rujuk, selama istri masih menjalani masa iddah. Talak yang masih memungkinkan untuk rujuk hanya untuk talak pertama dan kedua. Allah berfirman,      
الطلاق مرتان
"Talak itu dua kali ..." (QS. Al-Baqarah: 229)
Kata para ahli tafsir, talak itu dua kali, maksudnya adalah talak yang masih memungkinkan untuk rujuk. (Tafsir Jalalain, hlm. 235).
b. Talak ba'in : talak yang tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk. Talak ba'in ada 2:     
·          Ba'in sughra: ini terjadi ketika seorang suami mentalak istrinya, pertama atau kedua, dan sampai masa iddah selesai, dia tidak merujuk istrinya.
·          Ba'in kubro: talak untuk yang ketiga kalinya.
Kedua , selama menjalani masa iddah untuk talak pertama dankedua , status mereka masih suami istri. Karena itu, suami dapat melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.
Allah berfirman,
وبعولتهن أحق بردهن في ذلك إن أرادوا إصلاحا
"Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan." (QS. Al-Baqarah: 228)
Syaikh Mustofa Al-Adawi mengatakan, "Allah Ta'ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan" suaminya "(suami bagi istrinya)." (Jami 'Ahkam an-Nisa, 511)
Ketiga , selama menjalani masa iddah talak pertama dankedua, bisakah mereka melakukan hubungan badan?
Sebagian ulama menegaskan, jika seorang suami menceraikan istrinya, talak satu atau talak dua, kemudian dia melakukan hubungan badan, maka itu tidak dianggap zina, artinya statusnya hubungan yang halal, dan hubungan badan yang dia lakukan sekaligus mewakili rujuknya.
Sayyid Sabiq dalam karyanya, Fiqh Sunnah mengatakan:
وتصح المراجعة بالقول. مثل أن يقول: راجعتك, وبالفعل, مثل الجماع, ودواعيه, مثل القبلة, والمباشرة بشهوة.
"Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami mengatakan kepada istrinya:" Saya rujuk kepadamu. ' Bisa juga dengan perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat. "(Fiqh Sunnah, 2/275)
Inilah yang menjadi pendapat madzhab hambali. Dalam Mausu'ah Fiqhiyah disebutkan:
تصح الرجعة عندهم بالوطء مطلقا سواء نوى الزوج الرجعة أو لم ينوها وإن لم يشهد على ذلك
Lihat sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak ada saksi dalam hal ini. (Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22/111)
Alasan madzhab hambali:
Sesungguhnya masa iddah merupakan penantian untuk berpisah dengan istri yang ditalak, dimana ketika masa iddah selesai, maka terhalang kemampuan untuk rujuk. Karena itu, jika iddah belum selesai dan suami menggauli istrinya di waktu ini, maka istri berarti kembali kepadanya. Status hukum ini sama dengan hukum ila '(suami bersumpah untuk tidak menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila 'terhadap istrinya, kemudian dia menyetubuhi istrinya maka hilang status hukum ila'. Demikian pula untuk talak yang masih ada kesempatan untuk rujuk, jika suami berhubungan dengan istrinya di masa iddah maka istrinya telah kembali kepadanya. (Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22/112)
Dengan memahami pengantar di atas, kita bisa mengambil kesimpulan hukum untuk kasus yang ditanyakan. Bahwa jika cerai yang dijatuhkan sang suami baru cerai pertama, atau kedua, dan istri masih menjalani masa iddah (selama 3 kali haid), maka hubungan badan yang terjadi bukan zina, dan anak yang dikandung berhak dinasabkan kepada ayahnya. Dan dengan kejadian ini, mereka dianggap rujuk dan kembali menjadi suami istri.
Sebaliknya, jika cerai yang terjadi adalah cerai ba'in, cerai ketiga atau telah selesai masa iddah maka hubungan yang dilakukan adalah hubungan di luar nikah, dan sang anak statusnya anak hasil zina, yang hanya bisa dinasabkan ke ibunya, karena dia tidak memiliki ayah.
Allahu a'lam

Antara Hukum dan Solusi: Membangun Sikap “Sami'na wa Atha'na”

Antara Hukum dan Solusi: Membangun Sikap “Sami'na wa Atha'na”
 
Bismillah, wash-shalatu was-salam 'ala Rasulillah. Allahumma yassir wa a'in (ya Allah, karuniakanlah kemudahan dan berilah pertolongan).
 
Kerap kali, kita dengar ada sebagian kaum muslimin yang memberikan kesan "tidak sepakat" ketika mendapatkan keterangan tentang hukum Islam mengenai masalah tertentu. Lebih-lebih, ketika hukum tersebut bertabrakan dengan kebiasaan masyarakat atau kepentingan pribadi. Mulai dari bentuk penundaan dalam melaksanakan hukum, sampai pada bentuk penolakan secara terang-terangan. Alasan "klasik" yang sering digunakan adalah, "Bagaimana perubahan yang harus dilakukan di masyarakat?". Selama solusi belum disepakati, selamanya hukum itu belum bisa diterima dengan sepenuh hati.
 
Contoh konkritnya, dalam suatu kesempatan menyampaikan kajian kitab Riyadhush Shalihin tentang bab "Riba", kami mencoba menjelaskan tentang beberapa praktik riba di Indonesia , terutama kasus yang terjadi di bank-bank berlabel "syariah". Seusai kajian, ada salah satu peserta yang mengatakan, dengan redaksi – kurang lebih – sebagai berikut, “Penjelasan ini belum memberikan solusi, karena hampir semua roda perekonomian di tempat kita tidak lepas dari keterlibatan bank. Seorang pengusaha tidak mungkin bisa mengembangkan usahanya tanpa pinjam bank, ....”
 
Belum selesai mengutarakan semua isi hatinya, disusul peserta yang lain, “Bagaimana dengan keluarga-keluarga muda yang ingin bangun rumah? Itu, kalau tanpa KPR enggak bakalan bisa! Kalau baru bekerja lima tahun, belum sanggup. Bisanya cuma ngontrak ...." “Wah.., kalo apa-apa dilarang, bagaimana kita berkembang?”
 
Lain dari itu, setelah memublikasikan beberapa tulisan yang sedikit menyinggung bank "syariah", datanglah komentar, “Lah ... Terus, kita harus bayar ONH lewat mana?”, “Mohon jalan keluarnya ...”, “Penulis tidak memberikn solusi ....”, “Saya pikir dulu ....”,  dan seterusnya.
 
Tak terkecuali juga masalah rokok. Beberapa orang diingatkan bahwa rokok hukumnya terlarang, sejuta alasan dia lontarkan untuk mempertahankan statusnya sebagai perokok. ‘ Kan cuma makruh…’. ‘Nyatane banyak kiayi yang Nunut Udud (NU)’.
 
Masih banyak kasus nyata lainnya yang menunjukkan sikap "skeptis" terhadap hukum Islam, namun semoga beberapa contoh di atas sudah mencukupi. Kami yakin, sikap seperti di atas sangat sering kita jumpai, atau bahkan – bisa jadi – kita sendiri pernah melakukannya.
 
Kita menyadari, ini bagian dari sifat dan tabiat manusia. Mereka mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan zona nyaman bagi kehidupannya. Dia lebih memilih bertahan pada kebiasaan lama daripada harus bergeser dan melakukan perubahan, meskipun – bisa jadi – kebiasaan itu bertolak belakang dengan hukum syariat. Inilah yang mungkin menjadi faktor penghalang utama bagi masyarakat dalam menerima hukum syariat dengan sepenuh hati.
 
Tidak semua hukum berpihak pada kepentingan kita
 
Telah menjadi watak dan karakter kita sebagai manusia, bahwa tidak semua hukum dan perintah Allah bisa kita terima dan sesuai dengan selera kita. Namun, bukan berarti, ketika hukum tersebut tidak sesuai dengan selera, kemudian kita boleh menolaknya.
Allah berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
 
“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu sementara itu baik bagi kalian, dan bisa jadi, kalian mencintai sesuatu sementara itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
 
Ayat di atas Allah akhiri dengan firman-Nya (yang artinya), “Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” Di antara rahasia di balik penyebutan keterangan di atas oleh Allah, setelah Dia menyatakan bahwa hukum-Nya terkadang tidak sesuai dengan selera manusia, adalah untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah lebih mengetahui hal yang terbaik untuk kita daripada diri kita sendiri. Allah lebih mengetahui tentang kebutuhan hidup kita daripada kita sendiri. Karena itu, yang dijadikan tolak ukur baik dan buruk dalam kehidupan manusia bukanlah kecenderungan dan selera hati manusia. Namun, yang menjadi tolak ukur adalah pilihan Allah ta'ala. Demikian keterangan dari Ibnul Qayyim, sebagaimana termuat dalam Al-Fawaid, hlm. 91.
 
Syariat Tidak Merepotkan
Sebagai mukmin kita sangat sadar bahwa aturan dan ketetapan Allah diturunkan bukan untuk menyusahkan kita atau membuat repot kehidupan kita. Sang Pencipta sangat paham apa yang paling baik untuk kehidupan manusia. Karena itu, aturan yang Dia tetapkan, sejatinya akan sesuai dengan semangat melestarikan kehidupan itu sebaik mungkin. Hal ini telah Allah tegaskan melalui firman-Nya,
طه ( ) مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى ( ) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى ( ) تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَى
Thaahaa. ( ) Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah ( ) Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), ( ) yang  diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (QS. Thaha: 1 – 4)
 
Ad-Daruqutni dalam sunannya (no. 441) menyebutkan sebuah kisah, sosok Umar bin Khatab, yang dulunya orang yang sangat keras sebeluma masuk islam, terenyuh hatinya begitu mendengar ayat ini dibacakan. “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
 
Syarat status "mukmin" adalah menerima hukum Allah dengan sepenuh hati
Allah berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Demi Rabmu (Allah), mereka belum beriman, sampai mereka menjadikan dirimu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus perkara) dalam setiap perselisihan di antara mereka, sementara mereka tidak mendapatkan adanya kesempitan dalam hati mereka terhadap hal yang engkau putuskan, dan menerima dengan pasrah.” (QS. An-Nisa':65)
 
Ibnul Qayyim menjelaskan, "Menerima keputusan agama adalah suatu kewajiban, dan sikap ini merupakan landasan islam dan pondasi keimanan seseorang. Karena itu, setiap hamba wajib untuk rela terhadap hukum islam, tanpa diiringi kesempitan hati, sikap skeptis, mempertentangkannya dengan hal yang lain, atau menolaknya .... Dalam ayat di atas, Allah bersumpah atas nama diri-Nya, bahwa manusia belum dianggap beriman sampai memenuhi tiga syarat:
1. Dia menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hakim, dengan mengembalikan semua permasalahan kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Tidak ada rasa berat dalam menerima hukum tersebut.
3. Pasrah sepenuh hati (pasrah bongkoan)." (Madarij As-Salikin, 2:192)
 
Inilah makna keridhaan bahwa Allah sebagai Rabnya, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi dan rasul. Dengan modal keridhaan ini, orang akan bisa merasakan kelezatan iman. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
 
ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً
 
“Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.” (HR. Muslim)
 
Meniru kepasrahan para sahabat
Disebutkan dalam riwayat Ahmad bahwa terkait dengan pelarangan khamar, Allah menurunkan tiga tahapan peringatan. Pada tahap awal, Allah jelaskan bahwa khamar memiliki dampak negatif (dosa) dan dampak positif (manfaat ekonomi). Tahap kedua, Allah melarang para sahabat untuk shalat dalam keadaan mabuk. Adapun pada tahap ketiga, Allah melarang khamar secara keseluruhan, dengan turunnya firman Allah di surat Al-Maidah ayat 90.
 
Satu sikap yang sangat mengherankan; ketika turun ayat pelarangan khamar, para sahabat secara serentak menumpahkan khamar-khamar yang mereka simpan di gudang. Sampai-sampai, jalanan kota Madinah becek dengan khamar, saking banyaknya khamar yang dibuang. Padahal, sebelumnya, khamar Madinah yang berbahan baku air kurma ini telah menjadi komoditas perdagangan masyarakat Madinah. Di saat yang sama, mereka menyatakan,
انتهينا ربنا
"Kami tidak akan melakukannya lagi, ya Allah ...." (HR. Ahmad; dinilai hasan oleh Syu'aib Al-Arnauth)
 
Tidak bisa kita bayangkan, andaikan peristiwa itu terjadi pada masyarakat kita saat ini. Bisa jadi, akan banyak pihak yang menolaknya. Mereka membawakan berbagai macam alasan agar bisa menunda keputusan pelarangan khamar. Lebih-lebih, ketika pelarangan ini bertabrakan dengan kepentingan perekonomian negara: bisa menutup banyak lapangan pekerjaan karena semua produsen khamar harus gulung tikar, menutup perusahaannya. Sejuta alasan akan mereka lontarkan, sama persis seperti kasus rokok. Untung besar untuk petani tembakau, mengapa dilarang. Fatwa MUI mengancam perekonomian umat.  Ya, bagi kalangan pecundang, hukum ini, bisa jadi, dianggap tidak memberikan solusi, namun justru menimbulkan permasalahan baru bagi kehidupan masyarakat.
 
Akan tetapi, para sahabat tidak berlaku demikian. Merekalah teladan dalam bersikap terhadap hukum Allah. Merekalah para hamba Allah yang sejati, yang menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah. Siapakah yang siap untuk meniru dan meneladani mereka?
 
Ada sikap yang bisa kita nilai sangat heroik. Sikap yang menunjukkan kepasrahan sahabat terhadap aturan syariat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (no. 13733) dan Ad-Daruqutni dalam Sunannya (no. 2161), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa sebelum Khamr diharamkan, Abu Thalhah dititipi untuk mengurusi harta beberapa anak yatim. Karena pertimbangan agar ‘lebih menguntungkan’, Abu Thalhah menggunakan uang warisan anak yatim itu untuk membeli khamr. Segudang khamr dibeli Abu Thalhah, dengan harapan bisa untung besar setelah disimpan beberapa hari.
Namun belum saatnya dijual, ternyata Allah ta’ala telah menurunkan ayat yang mengharamkan khamr. Sebagai manusia biasa, beliau diliputi kegalauan dan bingung. Dia harus nanggung harta anak yatim sekian banyak. Setelah berpikir panjang, dapat ide cemerlang, khamr ini akan dibuat jadi cuka. Pikir Abu Thalhah, setelah jadi cuka akan bisa diperdagangkan.
Syahdan sang sahabat cerdas ini mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, adakah semacam ini dibolehkan. Besar harapan beliau agar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya. Namun, jawaban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak sesuai harapannya, “Tidak boleh, buang khamr itu.”
Beliau pulang dengan membawa angan-angan kosong. Besoknya datang lagi, barangkali ada wahyu yang meralat jawaban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun ternyata jawabannya sama, “Tidak boleh, buang khamr itu.” Abu Thalhah ternyata belum patah semangatnya, beliau tetap mendatang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga ketiga kalinya dan jawabannya sama. Barulah Abu Thalhah membuang khamr itu, sekalipun dia harus menanggung resiko besar.
(Riwayat ini dinilai Shahih oleh Syuaib Al-Arnauth dalam catatan kaki Musnad Ahmad).
 
Membangun Sikap “sami'na wa atha'na”
Peristiwa pelarangan khamar di atas memberikan pelajaran berharga bagi kita, bahwa tidak semua hukum larangan yang Allah turunkan selalu diiringi dengan alternatif lain. Dan itu bukan berarti hukum ini tidak memberikan solusi. Justru, hukum itu sendiri merupakan solusi terbaik bagi masyarakat.
 
Ketika larangan khamar diturunkan, para sahabat tidak bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana solusi yang tepat?” “Khamr harta simpanan kami, haruskah kami buang? Kami bisa rugi besar. Tolong berikan kami solusi?” 
 
Bedakan Solusi dan Alternatif
Karena itu, perlu dibedakan antara solusi dan alternatif. Bagi para sahabat, hukum itu sendiri sudah merupakan solusi, baik disertai alternatif lain maupun tanpa penyebutan alternatif lain. Mungkin karena sesuatu yang halal sudah sangat banyak, dan pada hakikatnya, itu semua merupakan alternatif.
 
Dalam menyikapi peraturan syariat yang tidak disertai alternatif lain, kita dituntut untuk bersikap tunduk dan pasrah:sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami taat. Selanjutnya, setiap orang diwajibkan untuk melaksanakan hukum tersebut semampunya. Sampai pada batas ketika dirinya tidak mampu lagi untuk melaksanakannya, dan memaksa dia untuk melanggarnya. Pada posisi ini, orang tersebut berstatus hukum sebagai orang yang ada dalam keadaan dharurat (terpaksa). Dan tentu saja namanya dharurat tidak dipertahankan selamanya. Keadaan dharurat hanya memperbolehkan orang untuk melanggar aturan sampai status dharurat itu hilang.
 
Hindari Penolakan
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menceritakan, "Ketika turun firman Allah (yang artinya), 'Baik kalian tampakkan isi hati kalian atau kalian sembunyikan isi hati kalian, niscaya Allah akan menghisab (menghitung) semua itu ....' para sahabat merasa sangat keberatan.
 
Mereka pun mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadu, 'Wahai Rasulullah, kami telah mendapatkan beban yang mampu untuk kami kerjakan, baik shalat, puasa, jihad, dan sedekah. Namun Allah telah menurunkan ayat kepada Anda, yang tidak mampu kami laksanakan.' Lantas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Apakah kalian ingin melontarkan sebuah ucapan sebagaimana ucapan yang dikatakan oleh Bani Israil, 'Kami dengar dan kami bermaksiat'? Akan tetapi, katakanlah, 'Kami tunduk dan kami taat ....''
 
Setelah mereka menerima hal itu, Allah menghapus hukum sebelumnya (dicatatnya amal hati), dengan menurunkan firman-Nya, 'Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.' (pada lanjutan ayat)" (HR. Muslim)
 
Ya.... Demikianlah sikap yang tepat. Sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat; bukan dengan banyak bertanya dan bersikap skeptis. Akan tetapi, hendaklah berusaha memaksa diri untuk menerima. Sekali lagi, jadikan hukum itu sebagai solusi. Dan selanjutnya, mari kita mencari alternatif lainnya yang halal.
Hukum adalah solusi dan tinggal satu pertanyaan: siapkah kita melakukan perubahan?
 
Allahu a'lam. Semoga bermanfaat.